BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Dewasa ini tasawuf tidak hanya
menarik perhatian para peneliti muslim ataupun orientalis, tetapi juga menarik
perhatian masyarakat awam. Hal tersebut bisa dibuktikan tumbuh suburnya
majelis-majelis pengajian tasawuf yang tersebar di mana-mana dalam masyarakat
Indonesia, yang akhir-akhir ini merasa terbelenggu berbagai materialisme serta
nihilisme modern. Mereka membutuhhkan sesuatu yang dapat memuaskan akal
budinya, menentramkan jiwanya, memulihkan kepercayaan dirinya dan sekaligus
mengembalikan keutuhan yang nyaris punah karena dorongan kehidupan materialis
dalam berbagai konflik ideologis.[1]
Sebagai sistem ajaran keagamaan yang
lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan
eksoterik (lahiriyah/fiqhiyah) dan
esoterik (batiniyah/thariqah)
sekaligus. Tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek
penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip
ekuilibrium (tawazun) dalam Islam,
namun kenyataanya banyak kaum muslimin yang penghayatan keislamannya lebih
mengarah ke aspek batini sehingga disebut ahl
al-bawathin.
Dalam sejarah pemikiran Islam,
antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu sempat terjadi ketegangan dan
polemik, dengan sikap-sikap saling menuduh bahwa lawannya adalah penyelewengan
dari agama dan sesat, atau penghayatan agama mereka dianggap kurang sempurna.
Dari banyak usah merekonsliasi antara keduanya itu, apa yang pernah dilakukan
oleh Imam al-Ghazali bisa dibilang yang terbesar dan yang paling berhasil.[2]
Dulu di Indonesia taswuf lahir dan
menjamur hanya terbatas di kalangan masyarakat pedesaan, seperti di
pesantren-pesantren tradisional. Tariqat, salah satu bentuk pengamalan tasawuf,
lebih banyak mewarnai masyarakat lapisan bawah, tapi kini tasawuf telah mencuat
ke atas sebagai kebutuhan masyarakat modern. Ditengah derasnya arus modernisasi
ini, tasawuf semakin dicari dan dibutuhkan oleh masyarakat. fenomena ini tentu
saja menolak anggapan bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat kemajuan dan
perkembangan masyarakat.[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman
dengan berbagai pembagian di alamnya, yaitu tasawuf
akhlaqi, tasawuf amali, dan tasawuf
falsafi. Tasawuf akhlaqi berupa
ajaran mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.[4] Ajaran
yang terdapat dalam tasawuf ini meliputi takhalli,
yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela; tahalli (menghiasi dan
membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji) dan tajalli (tersingkapnya Cahaya Ilahi seiring dengan sirnanya
sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli dilalui.
Tasawuf amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana mendekatkan diri
kepada Allah. Tasawuf amali ini
identik dengan Tarekat, sehingga bagi
mereka yang masuk tarekat akan
memperoleh bimbingan semacam itu.
Sementara tasawuf falsafi berupa kajian tasawuf yang dilakukan secara
mendalam dengan tinjauan filosofis dengan segala aspek yang terkait didalamnya.
Dalam Tasawuf falsafi ini dipadukan
visi intuitif tasawuf dan visi rasional filsafat. Dari ketiga bagian tasawuf
tersebut, secara esensial semua bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni
(mahdlah) untuk mewujudkan akhlak al-karimah baik secara
individualmaupun sosial.[5]
Ajaran tasawuf menurut kodratnya adalah ekstrim kerohanian dan anti kritik
penalaran rasional.[6]
Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan moral dan
membangun kehidupan jasmani dan rohani guna mencapai kebahagiaan abadi. Unsur
utama penyucian tasawuf adalah penyucian jiwa dan tujuan akhirnya adalah
tercapainya kebahagaiaan dan keslamatan abadi.
Imam Qushari, pengarang biografi Rasa’il,
seorang sufi terkenal, menganggap tasawuf sebagai suatu kesucian (safa).
Kesucian yang dimaksud adalah kesucian kehidupan jasmani dan rohani.[7]
Abu ‘Ali Qazwini berpendapat bahwa “tasawuf berarti tingkah laku yang baik.”
Abu Sahl mendefinisikan tasawuf sebagai tingkah laku yang tidak menimbulkan
protes.[8]
Ketika Abu Muhammad Ruwain diminta untuk mendefinisikan tasawuf, ia berkata:
“Tasawuf tak lain adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah.” Seorang sufi
tak lagi memiliki keinginan-keinginannya sendiri dan hanya kehendakNya lah yang
ada di dalam dirinya sehingga ia tak menginginkan sesuatu bagi dirinya sendiri,
dan ia pin tak menginginkan hal-hal yang lain.
Tatkala Sufi itu akhirnya menyadari bahwa
sesungguhnya hanya Allah semata yang dapat menghukum dan memberikan rahmat, Dia
yang menentukan umur kita, Dia lah yang Sang Pencipta. Orang Sufi tak
memperdulikan hal-hal lain kecuali Dia.[9]
Bila kita pikirkan lagi definisi tentang tasawuf tersebut, kita akan mengakui
bahwa ajaran Kaum Sufi tidak hanya terbatas pada penyucian akal dan kemudian
meleburkan dirinya dalam kehendak Allah. Ia dapat merasakan kehadiran Allah di
hati (Yaft) dan di luar dirinya (shuhud). Pengetahuan dan
tindakan-tindakannya dituntun oleh Allah Semata.[10]
Dengan demikian jelaslah bahwa menurut para ahli sufi, tasawuf
tidak lain adalah penyucian akal dan kehendak hati. Penyucian ini berarti
menghilangkan keinginan seseorang karena kehendak Allah. Hal ini berarti
disiplin diri, menghindari apa yang dilarang dan mengerjakan apa yang
diperintahkan.[11]
Di sini tasawuf sepenuhnya adalah disiplin berdasarkan ajaran Ilsam yang
membentuk watak dan kehidupan pribadi Muslimin dengan cara mengharuskan mereka
melaksanakan sejumlah peraturan, tugas, kewajiban, dan keharusan lain yang
tidak boleh ditinggalkan.[12]
[1] Sokhi Huda, Tasawuf
Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2008), hlm. 1.
[2] Amin Syukur,
Taswuf Kontekstual: Solusi Problem
Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. v.
0 Response to "Tasawuf "
Post a Comment