Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan delapan kriteria dalam memahami hadis,
diantaranya:[1]
1.
Memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, untuk memahami hadis dengan benar, harus
sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an didasarkan pada argumentasi bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat
tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrial Islam.
Sedangkan
hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-qur’an. Oleh karena itu, makna
hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan Al-Qur’an dan penjelasan-penjelasannya yang nyata.[2]
Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut
tidak sahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai
pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki.
Jika hal itu
terjadi, maka tugas seorang muslim adalah mentawqufkan hadis yang di lihatnya
bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang muhkam
selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima. Atas dasar itu, hadis palsu
yang dikenal dengan hadis gharaniq jelas harus ditolak karena
bertentangan dengan Al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan “Tuhan-Tuhan mereka
yang palsu.”
2.
Menghimpun
hadis-hadis yang setema
Menurut
Yusuf Al-Qaradhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis
yang sebenar-benarnya, perlu menhadirkan hadis-hadis lain yang setema. Setelah
penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan
kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq
dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas.
Contoh
yang diangkat oleh Yusuf Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema
tentang hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki. Langkah
pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang
mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis
yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai dibawah mata
kaki.
Kemudian
menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan
dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa
dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan
tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaianya karena
kesombongan.[3]
3.
Kompromi
terhadap hadis-hadis yang kontradiktif
Dalam
pandangan Yusuf Al-Qaradhawi, pada dasarnya nash syariat tidak mungkin saling
bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah lahiriahnya bukan dalam
kenyataan yang hakiki. Bagi Al-Qaradhawi hadis yang tampak bertentangan dengan
hadis yang lain dapat dikompromikan. Kasus hadis yang tampak bertentangan yang
dibahas Yusuf Al-Qaradhawi, yaitu hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi
wanita. Hadis ini berkualitas shahih, dan mengandung pengertian tentang
ketidaksukaan nabi yang bisa diartikan
sebagai larangan kepada perempuan yang terlalu sering berziarah kubur. Hadis
teresebut bertentangan dengan hadis yang memperbolehkan ziarah kubur pada
umumnya, karena hal itu dapat mengingatkan kepada kematian.[4]
Hadis yang melarang maupun
memperbolehkan seorang wanita berziarah kubur, berkualitas shahih, dan secara
dhahir saling bertentangan. Namun menurut Al-Qaradhawi-menukil pendapat
Al-Qurtubi- bahwa hadis yang melarang diatas dapat dikompromikan yakni, hadis
yang melarang perempuan berziarah kubur dikarenakan zawwarat (wanita tersebut
terlalu sering berziarah kubur).
4.
Memahami Hadis Sesuai Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Dan Tujuan
Untuk
memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus
yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang
menyertainya. Kalau ini tidak
dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syari`.
Hal ini mengingat hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang
bersifat local, particular, dan temporal. Dengan mengetahui hal ini, seseorang
dapat melakukan pemilahan antara yang umum, sementara dan abadi, dan antara
yang universal dengan particular.[5]
Dalam
pandangan Yusuf al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat
lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga
dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku
pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi
adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah.
أنتم أعلم
بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini
tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya
kepada umat Islam, karena dalam berbagai bidang: ekonomi,
sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas. Hadis ini harus dipahami menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni
bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih
ahli ketimbang Rasul. Maksud hadis Nabi
terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya.
Jadi, para
petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan
petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani.
Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang
keahlian itu bersifat universal.[6] Memperhatikan latar belakang, tujuan, kemaslahatan
bahkan juga kebiasaan lokal yang
ada pada zaman nabi.
5.
Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
Menurut
Al-Qaradhawi, dalam memahami hadis nabi harus berpegang dan mementingkan makna
tujuan/sasaran hakiki teks hadis. Sebab, sarana dan prasarana yang tampak pada
lahiriah hadis dapat berubah-ubah pada satu masa ke masa lainnya. Yusuf
Al-Qaradhawi mengemukakan contoh hadis yaitu hadis tentang siwak.[7]
Menurut
Al-Qaradhawi, penyebutan siwak dengan kayu arak oleh nabi tidaklah menikat kita
agar tidak menggunakan alat-alat lain. Sebab yang menjadi tujuan dari hadis tersebut adalah terjaganya
kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut, sehingga mendapatkan keridhaan dari
Allah.
Ada pun tentang alat yang digunakan, tergantung kondisi suatu tempat
tertentu dan waktu tertentu. Pada zaman sekarang ini, pemakaian sikat dan pasta
gigi sama nilainya dengan pemakaian kayu arak di masa nabi.
6. Memastikan makna kata-kata dalam hadis
Untuk dapat memaknai kata-kata dalam hadis dengan
sebaik-baiknya, menurut Al-Qaradhawi penting sekali untuk memastikan makna dan
konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari masa ke masa.
0 Response to "Metode Memahami Hadis Yusuf Al-Qardhawi"
Post a Comment