Kumpulan Hadis Dan Kontekstualisasinya

adsense 336x280
Dosa Orang yang Lewat di Hadapan Orang yang Sedang Shalat
عن بسر بن سعيد أن زيد ابن خالد أر سله لى أبي جهيم يسأله ماذا سمع من رسول الله صلى الله عليه و سلم في المار بين يدي المصلي؟ فقال أبوجهيم: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لويعلم المار بين يدي المصلى ماذا عليه لكان أن يقف أربعين خيراله من أن يمر بين يديه. قال أبو النضر: لاأدري أقال أربعين يوماأوشهرا أوسنة. (رواه البخري)
Artinya:
Dari Busr bin Sa’id, bahwa Zaid bin Khalid mengutusnya kepada Abu Juhaim untuk menanyakan apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW tentang orang yang lewat di hadapan orang yang shalat? Abu Juhaim berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘seandainya orang yang lewat di hadapan orang yang shalat mengetahui apa (dosa) baginya, maka berdiri selama empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di hadapan orang yang shalat’.” Abu An-Nadhr berkata, “Saya tidak tahu, apakah ia mengatakan empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun.”
Keterangan hadis:
( Bab dosa seseorang yang lewat di hadapan orang yang shalat )
            Dalam bab ini Imam Bukhari menyebutkan hadits Busr bin Sa’id, bahwa Zaid bin Khalid –yakni Al Juhani Ash-Shahabi– mengutusnya  kepada Abu Juhaim –yakni Ibnu Al Harits bin Ash-Shamah Al Anshari– dimana haitsnya telah disebutkan pada bab “Tayamum saat Tidak Bepergian”.
            Demikianlah hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Al Muwaththa tanpa ada perbedaan bahwa yang diutus adalah Zaid, dan orang yang dituju adalah Abu Juhaim. Dalam hal ini dia didukung oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abu Nadhr, seperti tercantum dalam riwayat Imam Muslim dan Ibnu Majah serta selain keduanya. Akan tetapi Ibnu Uyainah menyalahi keduanya dari Abu An-Nadhr, dia berkata, “Diriwayatkan dari Busr bin Sa’id, dia berkata, ‘Aku diutus oleh Abu Juhaim kepada Zaid bin Khalid untuk bertanya kepadanya’. Lalu beliau menyebutkan hadits diatas.
Kandungan Makna Hadits (Lafadz):
1.                  بين يدي المصلى     ( di hadapan orang shalat ) yakni didpannya dengan jarak yang deka. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasnya. Sebagian mengatakan, apabila lewat antara orang yang shalat dengan tempat sujudnya. Adapula yang mengatakan dalam jarak tiga hasta. Sebagian lagi mengatakan jaraknya adalah dari orang yang shalat hingga sejauh lemparan batu
2.                  .ماذا عليه ( apa baginya ) Al Kasymihani menambahkan, من الاءثم ( dari dosa ) akan tetapi tambahan ini tidak ditemukan pada seorang perawi pun selain dia, dan hadits yang terdapat pada seorang perawi pun selain dia, dan hadits yang terdapat dalam kitab Al Muwaththa juga tanpa tambahan itu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Tidak ada perbedaan lafadz mengenai hal ini dalam riwayat Imam Malik. Demikian pula dalam riwayat para penulis kitab hadits yang enam dan para pengarang kitab-kitab Musnad ataupun Mustakhraj, yaitu tambahan tadi. Saya belum menemukannya dalam riwayat mana pun secara mutlak.” Akan tetapi dalam kitab Mushanaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan, “Yakni dari dosa”.
3.                  لكا ن أن يقف أربعين  ( niscaya berdiri empat puluh ) yakni orang lewat bila mengetahui besarnya dosa yang didapatkannya akibat lewat di hadapan orang yang shalat, niscaya ia akan lebih memilih untuk berdiri selama waktu yang disebutkan agar tidak mendapatkan dosa.
4.                  Al Karmani berkata, “Kalimat pelengkap bagi kata لو ( kalau ) tidak disebutkan secara tekstual, ada pun makna seharusnya adalah, ‘Kalau ia mengetahui apa baginya, niscaya ia akan berdiri selama empat puluh. Jika ia berdiri selama empat puluh, niscaya hal itu lebih baik baginya’ . Akan tetapi kebenaran apa yang dikatakannya tidaklah pasti.”
5.                  ساعة ( Atau jam ). Merupakan hal yang mustahil apabila sikap ragu dan tegas terjadi pada seorang perawi dalam satu keadaan, kecuali bila dikatakan, “Barangkali pada satu kesempatan dia mengingatnya, maka ia pun menyebutkannya.” Namun, perkataan ini tidak luput dari kelemahan.
6.                  قال أبو النضر ( Abu An-Nadhr berkata ) Imam An-Nawawi berkata, “Disini terdapat dalil tentang haramnya lewat di hadapan orang yang shalat, karena sesungguhnya makna hadits adalah larangan tegas dan ancaman pedih bagi pelakunya.” Sebagai konsekuensinya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai dosa besar.
Kontekstualisasi Hadits
Hadits diatas menjelaskan tentang larangan untuk lewat dihadapan orang yang sedang shalat. Agar kejadian seseorang lewat di depan kita yang sedang shalat, alangkah baiknya apabila kita tidak shalat di “jalanan” yang kemungkinan akan dilewati orang. Caranya, kita pasang pembatas dengan meletakkan benda-benda tertentu di depn kita. Misalnya buku, tas, pensil atau apa pun. Dengan adanya batasan itu, maka orang-orang akan tahu bahwa mereka tidak boleh berjalan di situ. Kalau mau melewati, maka silahkan lewat di luar batas yang sudah dibuat.
Catatan Penting
1.                  Ibnu Baththal mengambil kesimpulan hukum dari perkataan “kalau ia mengetahui” bahwa dosa hanya didapatkan oleh orang yang mengetahuinya dan melanggar larangan tersebut. Tapi sikap beliau yang berdalil dengan lafadz ini untuk menetapkan hukum-hukum tersebut. Tapi sikap beliau yang berdalil dengan lafadz ini untuk menetapkan hukum tersebut tidak tepat, karena hukum tersebut telah diketahui berdasarkan dalil-dalil yang lain.
2.                   Berdasarkan makna lahiriah hadis, bahwa ancaman yang disebutkan adalah khusus bagi mereka yang lewat dan tidak mencakup mereka yang berdiri secara sengaja di depan orang shalat, demikian pula dengan duduk atau berbaring. Akan tetapi apabila sebab yang mendasari larangan adalah mengganggu orang shalat, maka perbuatan-perbuatan tadi memiliki makna yang sama seperti halnya kewat.
3.                  Ibnu Daqiq Al Id menyebutkan bahwa sebagian ulama madzhab Maliki menjelaskan secara rinci dalam empat bagian tentang keadaan orang yang lewat di hadapan orang yang shalat ditinjau dari segi dosa:
a.       Orang yang lewat berdosa tapi orang yang shalat tidak berdosa.
b.      Kebalikan dari yang pertama (orang yang lewat tidak berdosa dan orang yang shalat berdosa)
c.       Keduanya sama-sama berdosa
d.      Keduanya sama-sama tidak berdosa
4.                  Disebutkan dalam riwayat Abu Al Abbas As-Saraj melalui jalur Adh-Dhahhak bin Utsman, dari Abu Nadhr, “Seandainya orang yang lewat dihadapan orang yang shalat itu sendiri mengetahui... ” sebagian ulama memahami riwayat ini dalam konteks bahwa orang yang shalat tidak mencegah orang yang lewat di hadapannya, atau ia shalat di jalanan umum. Namun ada pula kemungkinan lafadz dalam hadits tersebut dibaca “mushalla” sehingga maknanya “lewat di tempat shalat”, yakni antara orang yang shalat dengan sutrah-nya. Nampaknya kemungkinan ini lebih tepat. Wallahua’lam

Kesimpulan:
Melewati tempat sujud orang yang sedang shalat adalah haram dan medapatkan dosa serta ancaman.

Orang yang Membangun Masjid

عن عبيد الله الخو لاني أنه سمع عثمان بن عفان يقو ل عند قو ل الناس فيه حين بنى مسجد الرسول صلى الله عليه وسلم :  إنكم اكثرتم، وإني سمعت النبي صلى اللهه عليه وسلم يقول : من بنى مسجدا – حسبت أنه قال- يبتغي به وجه الله بنى الله له مثله فثله في الجنة
(رواه البخاري)

Artinya:
Diriwayatkan dari Ubaidullah Al Khaulani bahwasannya ia mendengar Utsman bin Affan berkata ketika menusia memperbincangkan saat membangun masjid Rasul SAW, “Sungguh kalian telah banyak memperbincangkan sementara aku mendengar Nabi SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang membangun masjid –Bukhari berkata, Aku kira ia berkata, ‘demi mengharapkan ridha Allah’.” –maka Allah akan membanggunkan untuknya yang serupa dengannya di dalam surga’.”
Keterangan Hadits:
(Bab orang yang membangun masjid) yakni keutamaan yang diperolehnya
عند قول الناس فيه   (ketika manusia memperbincangkannya) penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam Shahih Muslim dari jalur Muhammad bin Labid Al Anshari –seorang generasi akhir sahabat– dia berkata, “Ketika Utsman hendak membangun masjid, orang-orang tidak menyukainya, dan mereka lebih suka jika Utsman membiarkan masjid seperti keadaan pada zaman Nabi SAW.” Dari hadits ini diperoleh keterangan bahwa lafadz “ketika membangun” pada hadits diatas maksudnya adalah “ketika hendak membangun”.
Kandungan Makna Hadits (Lafadz):
1.                 انكم اكثر تم (sungguh kalian telah banyak memperbincangkan) Objek pembicaraan tidak disebutkan secara tekstual karena telah diketahui dari konteks kalimat. Ada pun maksud pembicaraan di sini adalah pengingkaran atau sepertinya.
2.                 من بنى مسجدا  (barangsiapa membangun masjid) Makna pernyataan ini mencakup semua orang, kecil maupun besar. Lalu disebutkan dalam riwayat Anas yang dikutip oleh Imam Tirmidzi dengan lafadz, “kecil maupun besar”. Kemudian Ibnu Abi Syaibah menambahkan keterangan pada hadits bab ini melalui jalur lain dari Utsman, “Meski sebesar sarang”. Namun sebagian ulama memahami hadits ini sebagai suatu penekanan sebab luas sarang yang dibuat oleh burung digunakan untuk menyimpan telur dan tempat tidurnya tidak mencukupi dipakai melakukan shalat. Akan tetapi ada pula yang memahami sebagaimana makna lahiriyahnya, yaitu apabila seseorang menambahkan sesuatu yang dibutuhkan di masjid maka tambahan tersebut dibalas dengan pahala seprtinya. Atau bisa pula sekelompok orang bersama-sama membangun masjid, maka ganjaran mereka sebesar partisipasi masing-masing.
3.                 يبتغي به و جه الله (demi mengharapkan wajah Allah) yakni ia mengharapkan keridhaan Allah, maksudnya adalah ikhlas. Lafadz ini tidak dinyatakan dengan tegas oleh Bukhri  dalam hadis yang diriwayatkanya, dan aku tidak menemukannya selain pada jalur periwayatan beliau. Seolah-olah hadis ini tidak ada lafadz zeperti itu, karena semua perawi yang menukil hadits ini dari Utsman dengan berbagai jalurnya menyebutkan, من بنى الله مسجدا (Barangsiapa membangun masjid karena Allah).

Kontekstualisasi Hadits:
            Sebagian ulama menafsirkan hadits tersebut secara tekstual. Maksudnya, siapa membngun masjid dengan menambah bagian kecil saja yang dibutuhkan , tambahan tersebut seukuran tempat burung bertelur; atau bisa jadi caranya, para jamaah bekerja sama untuk membangun masjid dan setiap orang punya bagian kecil seukuran tempat burung bertelur; ini semua masuk dalam istilah membangun masjid. Karena bentuk akhirnya adalah suatu masjid dalam benak kita, yaitu tempat untuk kita shalat.
            Pahala yang besar akan kita dapat apabila kita membangun masjid dengan ikhlas dalam beramal, bukan untuk cari pujian atau balasan dari manusia.
Kata Imam Nawawi rahimullah, maksud akan dibangun baginya semisal itu di surga adadua tafsiran:
1.      Allah akan membangunkan semisal itu dengan bangunan yang disebut bait (rumah). Namun sifatnya dalam hal luasnya dan lainnya, tentu punya keutamaan tersendiri. Bangunan di surga tentu tidak pernah dilihat mata, takpernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbesit dalam hati akan indahnya.
2.      Keutamaan bangunan yang diperoleh di surga dibangding dengan rumah surga lainnya adalah seperti keutamaan masjid di dunia dibandingkan  dengan rumah-rumah di surga.

Catatan Penting:
          Pembangunan Masjid Nabawi yang dilakukan oleh Utsman berlangsung pada tahun 30 H menurut pendapat yang masyhur, namun ada pula yang mengatakan pada akhir masa pemerintahannya. Dalam kitab As-Siyar dari Al Harits bin Miskin dari Ibnu Wahab, malik telah mengabarkan kepadaku bahwa Ka’bah Al Ahbar berkata ketika Utsman membangun masjid Nabawi, “Aku berharap pembangunan masjid ini tidak diteruskan, sebab setelah selesai niscaya Utsman dibunuh.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, mungkin kedua riwayat tersebut dapat dipadukan dengan mengatakan bahwa riwayat pertama menjelaskan waktu permulaan pembangunannya, sedangkan riwayat kedua menjelaskan waktu selesainya.

Pelajaran yang Dapat Diambil
1.      Ibnu Al Jauzi berkata, “Barangsiapa yang menulis namanya pada masjid yang dibangunya, maka ia sangat jauh dari keikhlasan.” Barangsiapa yang membangunnya dengan mengaharapkan upah, maka ia tidak memperoleh apa yang telah dijanjikan dalam hadits karena tidak ada rasa ikhlas, meskipun ia tetap diberi pahala secara garis besarnya.
2.      Lafadz “membangun”, secara hakikat adalah untuk mereka yang menangani langsung proses pembangunan. Akan tetapi jiak dilihat dari maknanya, mencakup pula untuk orang yang menyuruh untuk membangunnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Utsman bin Affan RA, dimana beliau berdalil dengan hadis di atas tentang apa yang terjadi dengan beliau sendiri, sementara diketahui secara umum bahwa beliau tidak mengerjakannya secara langsung.



Kesimpulan:
Apabila kita akan membangun/mendirikan masjid hendaknya dilandasi dengan rasa yang tulus ikhlas. Apa pun yang kita lakukan atas dasar keikhlasan akan mendapat balasan pahala dari Allah.

Bepergian dan Mengajarkan Ilmu

عن عقبة بن الحارث أنة تزوج ابنة لأبي إهاب بن عزيز فأتتهامر أة فقا لت إني قد أر ضعت عقبة والتي تزوج فقال لهاعقبة ما أعلم انك أر ضعتنى ولا أخبرتني فركب إلى رسول الله صلى الله غليه وسلم بالمدينة فسأله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كيف وقدقيل ففا رقها عقبة ونكحت زوجا غيره.(رواه البخاري)

Artinya:
Uqbah bin Harits radhiallahu’anhu menceritakan bahwa ia menikah dengan putri Abu Lhab bin Aziz. Kemudian datang seorang perempuan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya saya telah menyusukan anda dan perempuan yang anda nikahi itu.” Maka Uqbah menjawab, “Saya tidak tahu engkau telah menyusukan saya, dan engkau tidak pula memberitahukannya kepadaku sebelum ini.” Kemudian Uqbah berkendaraan menemui Rasulullah SAW di Madinah untuk menanyakan hal itu. Maka Rasulullah bersabda, “Bagaimana mungkin engkau terus memperistrikannya, bukankah dikatakannya bahwa dia saudara sepersusuan denganmu? Semenjak itu Uqbah menceraikan istrinya, da kemudian perempuan itu menikah dengan laki-laki lain.”

Keterangan Hadits:
(Bab bepergian untuk mencari jawaban tentang masalah yang terjadi dan mengajarkan kepada kelurganya).
Rihlah artinya bepergian. Apabila dengan fathah Rahlah artinya keberangkatan. Ada pun dengan dhammah maka maksudnya adalah tujuan perjalanan, dan kadang juga digunakan untuk menyatakan seseorang yang berpindah kepadanya.
Kandungan Makna Hadits (Lafadz):
1.      عن عقبة بن الحارث  dalam “Kitab Nikah” penulis menyatakan dengan sama’ (pendengaran). Hadits ini dari Uqbah, berbeda dengan orang yang mengingkarinya. Ada pun mengenai perbedaan julukan Uqbah, dijelakan dala, kisah Khabib bin Adi.
2.      انه تزوجابنة (bahwa ia menikah dengan putri). Istrinya bernama Ghaniyah yang dijuluki Ummu Yahya, seperti diterangkan pada bab “Syahadat”. Namun Al Karmani menyanggah dan mengatakan bahwa, nama perempuan dan Abu Lhab tersebut tidak diketahui, tetapi yang jelas dia termasuk seorang sahabat.
3.      ولا أخبر تني (Engkau tidak pula memberitahukannya kepadaku sebelumnya) seakan-akan dia menuduh perempuan itu.
4.      ونكحت زوجا غيره (Dan perempuan itu menikah dengan laki-laki lain), laki-laki itu adalah Dhuraib.
Kontekstualisasi Hadits:
            Berdasar keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu (susuan) maka pernikahan yang telah terjadi itu pun harus dibatalkan (cerai) karena kemahraman pada keduanya. Dari kisah tersebut kita bisa tahu bahwa dahulu mereka amat menjaga pengetahuan tentang siapa saja yang bersaudara sepersusuan. Jadi meskipun menyusukan anak kepada orang lain adalah kebiasaan orang Arab saat itu, namun pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga.
            Sehingga ketika didapati seseorang melanggar batasan ini, ada oarng yang segera memberitahukannya. Bisa jadi perempuan itu telah lalai karena tidak memberitahukan persaudaraan antara Uqbah dan istrinya, namun kita juga bisa memahami bahwa dengan cara begitulah Allah hendak memberitahukan kepada kita betapa pentingnya bagi kita untuk mengetahui hubungan kemahraman atas dasar susuan.
            Begitulah Islam. Selain perkara ibadah khas yang telah diatur sedemikian rupa, ternyata dalam hubungan antar manusia pun Islam mengatur sedemikian detailnya. Banyak hikmah dari pengaturan ini, yang salah satunya kelak terungkap lewat peran ilmu pengetahuan yang meneliti perkawinan sedarah atau saudara dekat yang dalam syara’ disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi).

Kesimpulan
Apabila kita berilmu maka hendaknya ilmu tersebut kita bagikan kepada orang lain. apabila kita mengetahui sesuatu yang bermanfaat maka kita wajib membaginya kepada orang lain. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Dibalik penciptaan manusia pasti ada maksud dan tujuannya dan dibalik perintah dan larangan Allah pasti terdapat makna atau pun alasan yang terkandung didalamnya.

Sumber:
Al Asqalani, Ibnu Hajar, terj. Fathul Baari Penjelasan Kitab: Shahih Al Bukhari Buku 1,   diterjemahkan oleh : Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Al Asqalani, Ibnu Hajar, terj. Fathul Baari Penjelasan Kitab: Shahih Al Bukhari Buku 3,   diterjemahkan oleh : Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. adsense 336x280

0 Response to "Kumpulan Hadis Dan Kontekstualisasinya"

Post a Comment