Muhammad
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang ulama asal Mesir yang kaya dengan pengalaman
dalam berinteraksi dengan sunnah nabi. sebagai seorang ulama, ia lebih banyak
bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga memiliki pemahaman yang
komperhensif mengenai keadaan yang dialami masyarakat, tidak heran jika dalam
kajian hadisnya lebih banyak membahas tentang proses mendapatkan pemahaman yang
tepat terhadap suatu hadis, menurutnya ketimpangan antara sanad yang sahih
dengan matannya terjadi akibat kekeliruan menggunakan kerangka pikir dalam
berinteraksi dengan hadis nabi.
Di kalangan pemikir
Islam, Al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus
istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain karena ia memiliki cara
atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya
itu ia diterima kalangan Barat ebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam
secara ramah, santun, dan moderat. Ia sering menghadiri pertemuan internasional
sebagai wakil kelompok Islam.[1]
Dari kiprahnya,
Al-Qardhawi banyak menyumbangkan pemikiran baik dibidang ulum qur'an, hadits,
fiqih, sosial maupun tasawuf. Hal tersebut
dapat ditelusuri dari berbagai karya yang berhasil dijumpai, di antaranya
adalah:[2]
1.
Fiqih Zakat, yang memuat tentang
asal-muasal zakat, serta ragamnya, demikian juga yang berkaitan dengan zakat,
semisal sodaqoh, infaq dan lainnya.
2.
Fiqih Puasa, karya ini menjelaskan
bagaimana puasa ditinjau dari socio-historis sampai macam-macam puasa serta
hakekat dari puasa.
3.
Fiqih Manasik Haji, karya ini berbicara mengenai apakah manasik haji temasuk ke dalam
ibadah haji atau bukan.
4.
Fiqih Politik dan Ekonomi, karya ini mengupas mengenai masalah politik dan ekonomi.
5.
Fiqih Obat-obatan dan Kesehatan, Al-Qaradhawi juga membahas hadis-hadis yang berkaitan dengan resep
obat-obatan tertentu yang berasal dari nabi.
6.
Fiqih Kebebasan Menentukan Sikap, masalah
yang berkaitan dengan kebebasan menentukan sikap merupakan salah satu hal yang
disinggung Al-Qaradhawi dalam pembicaraannya tentang sunnah yang tidak
mengikat.
Itu
adalah beberapa hassil karya yang pernah ditulis oleh Al-Qaradhawi.
Berbicara mengenai pemahaman hadis,
sependek pengetahuan saya pemahaman hadis merpakan bagian dari kritik matan,
dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadis. Kritik hadis sebenarnya
telah terjadi sejak masa nabi. Kritik sebagai upaya membedakan informasi yang
benar dan yang salah pada masa nabi lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat
kepada nabi atau kepada sahabat lainnya.
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi sunnah
nabi mempunyai tiga karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumuli),
seimbang (manhaj mutawazin), dan memudahkan (manhaj muyassar).
Ketiga karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.
Atas dasar tersebut, maka ada tiga
hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu (1)
Penyimpangan kaum ekstrem (tahrif al-ghalin), yang berlebihan dalam hal
agama, (2) Manipulasi orang-orang sesat (intihal al-mubthilin), yaitu
pemalsuan terhadap pemalsuan terhadap ajaran Islam, membuat berbagai jenis
berbagai jenis bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syariah, dan
(3) Penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).[3]
Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat
terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat, yaitu tidak seperti jalan
kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok bodoh. Untuk merealisasikan
metode tengah-tengah terhadap sunnah, maka prinsip-prinsip dasar yang harus
ditempuh ketika berinteraksi dengan sunnah adalah:
1.
Meneliti
ke-shahihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh pakar hadis
yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matannya.
2.
Memahami
sunnah sesuai dengan pengertian bahasa, konteks, dan asbab al-wurud teks hadis
untuk meemukan makna suatu hadis yang sesungguhnya.
3.
Memastikan
bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash lain yang lebih
kuat.
Yusuf Al-Qaradhawi
mengemukakan delapan kriteria dalam memahami hadis, diantaranya:[4]
1.
Memahami
hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an
Menurut Yusuf
Al-Qaradhawi, untuk memahami hadis dengan benar, harus sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an didasarkan pada argumentasi bahwa
al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan
sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip
al-qur’an. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak
bisa bertentangan dengan al-qur’an.
Jika terjadi pertentangan, maka hal
itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang
tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan
bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka tugas seorang muslim adalah
mentawqufkan hadis yang di lihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’anyang
muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima. Atas dasar itu, hadis
palsu yang dikenal dengan hadis gharaniq jelas harus ditolak karena
bertentangan dengan Al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan “tuhan-tuhan
mereka yang palsu.”
2. Menghimpun
hadis-hadis yang setema
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, untuk
menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenar-benarnya,
perlu menhadirkan hadis-hadis lain yang setema. Setelah
penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan
kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq
dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas.
Contoh yang
diangkat oleh Yusuf Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang
hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki. Langkah pertama adalah
mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang
berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki.
Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang
berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki
tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang
menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaianya
karena kesombongan.[5]
3. Kompromi
terhadap hadis-hadis yang konttadiktif
Dalam pandangan Yusuf Al-Qaradhawi,
pada dasarnya nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Pertentangan yang
mungkin terjadi adalah lahiriahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Bagi
Al-Qaradhawi hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat
dikompromikan. Kasus hadis yang tampak bertentangan yang dibahas Yusuf
Al-Qaradhawi, yaitu hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita. Hadis
ini berkualitas shahih, dan mengandung pengertian tentang ketidaksukaan nabi yang bisa diartikan sebagai larangan
kepada perempuan yang terlalu sering berziarah kubur. Hadis teresebut
bertentangan dengan hadis yang memperbolehkan ziarah kubur pada umumnya, karena
hal itu dapat mengingatkan kepada kematian.[6]
Hadis yang melarang maupun
memperbolehkan seorang wanita berziarah kubur, berkualitas shahih, dan secara
dhahir saling bertentangan. Namun menurut Al-Qaradhawi-menukil pendapat
Al-Qurtubi- bahwa hadis yang melarang diatas dapat dikompromikan yakni, hadis
yang melarang perempuan berziarah kubur dikarenakan zawwarat (wanita tersebut
terlalu sering berziarah kubur).
0 Response to "Kontekstualisasi Pemahaman Hadis Menurut Al-Qaradhawi "
Post a Comment