Kontekstualisasi Pemahaman Hadis Menurut Al-Qaradhawi

adsense 336x280
 Muhammad Yusuf al-Qardhawi adalah seorang ulama asal Mesir yang kaya dengan pengalaman dalam berinteraksi dengan sunnah nabi. sebagai seorang ulama, ia lebih banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga memiliki pemahaman yang komperhensif mengenai keadaan yang dialami masyarakat, tidak heran jika dalam kajian hadisnya lebih banyak membahas tentang proses mendapatkan pemahaman yang tepat terhadap suatu hadis, menurutnya ketimpangan antara sanad yang sahih dengan matannya terjadi akibat kekeliruan menggunakan kerangka pikir dalam berinteraksi dengan hadis nabi.

 Di kalangan pemikir Islam, Al-Qaradhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaannya itu tidak lain karena ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itu ia diterima kalangan Barat ebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Ia sering menghadiri pertemuan internasional sebagai wakil kelompok Islam.[1]

Dari kiprahnya, Al-Qardhawi banyak menyumbangkan pemikiran baik dibidang ulum qur'an, hadits, fiqih, sosial maupun tasawuf. Hal tersebut dapat ditelusuri dari berbagai karya yang berhasil dijumpai, di antaranya adalah:[2]
1.      Fiqih Zakat, yang memuat tentang asal-muasal zakat, serta ragamnya, demikian juga yang berkaitan dengan zakat, semisal sodaqoh, infaq dan lainnya.
2.      Fiqih Puasa, karya ini menjelaskan bagaimana puasa ditinjau dari socio-historis sampai macam-macam puasa serta hakekat dari puasa.
3.      Fiqih Manasik Haji, karya ini berbicara mengenai apakah manasik haji temasuk ke dalam ibadah haji atau bukan.
4.      Fiqih Politik dan Ekonomi, karya ini mengupas mengenai masalah politik dan ekonomi.
5.      Fiqih Obat-obatan dan Kesehatan, Al-Qaradhawi juga membahas hadis-hadis yang berkaitan dengan resep obat-obatan tertentu yang berasal dari nabi.
6.       Fiqih Kebebasan Menentukan Sikap, masalah yang berkaitan dengan kebebasan menentukan sikap merupakan salah satu hal yang disinggung Al-Qaradhawi dalam pembicaraannya tentang sunnah yang tidak mengikat.
Itu adalah beberapa hassil karya yang pernah ditulis oleh Al-Qaradhawi.

Berbicara mengenai pemahaman hadis, sependek pengetahuan saya pemahaman hadis merpakan bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadis. Kritik hadis sebenarnya telah terjadi sejak masa nabi. Kritik sebagai upaya membedakan informasi yang benar dan yang salah pada masa nabi lahir dalam bentuk konfirmasi sahabat kepada nabi atau kepada sahabat lainnya.

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi sunnah nabi mempunyai tiga karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumuli), seimbang (manhaj mutawazin), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik tersebut akan mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.

Atas dasar tersebut, maka ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu (1) Penyimpangan kaum ekstrem (tahrif al-ghalin), yang berlebihan dalam hal agama, (2) Manipulasi orang-orang sesat (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap pemalsuan terhadap ajaran Islam, membuat berbagai jenis berbagai jenis bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syariah, dan (3) Penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).[3]

Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat, yaitu tidak seperti jalan kelompok ekstrem, kelompok sesat, dan kelompok bodoh. Untuk merealisasikan metode tengah-tengah terhadap sunnah, maka prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuh ketika berinteraksi dengan sunnah adalah:
1.      Meneliti ke-shahihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat dipercaya, baik sanad maupun matannya.
2.      Memahami sunnah sesuai dengan pengertian bahasa, konteks, dan asbab al-wurud teks hadis untuk meemukan makna suatu hadis yang sesungguhnya.
3.      Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash lain yang lebih kuat. 
Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan delapan kriteria dalam memahami hadis, diantaranya:[4]
1.      Memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, untuk memahami hadis dengan benar, harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Memahami hadis sesuai petunjuk al-Qur’an didasarkan pada argumentasi bahwa al-Qur’an adalah sumber utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrial Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-qur’an. Oleh karena itu, makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak bisa bertentangan dengan al-qur’an.

Jika terjadi pertentangan, maka hal itu bisa terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Jika hal itu terjadi, maka tugas seorang muslim adalah mentawqufkan hadis yang di lihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur’anyang muhkam selama tidak ada penafsiran yang dapat diterima. Atas dasar itu, hadis palsu yang dikenal dengan hadis gharaniq jelas harus ditolak karena bertentangan dengan Al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan “tuhan-tuhan mereka yang palsu.”

2.      Menghimpun hadis-hadis yang setema
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenar-benarnya, perlu menhadirkan hadis-hadis lain yang setema. Setelah penghimpunan hadis-hadis setema, langkah berikutnya adalah mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khas.

Contoh yang diangkat oleh Yusuf Qardhawi untuk memperjelas upaya ini adalah tema tentang hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki. Langkah pertama adalah mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki. Kemudian menyebutkan hadis-hadis  yang berkaitan dengan orang-orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya ia menampilkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakaianya karena kesombongan.[5]

3.      Kompromi terhadap hadis-hadis yang konttadiktif

Dalam pandangan Yusuf Al-Qaradhawi, pada dasarnya nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah lahiriahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Bagi Al-Qaradhawi hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dikompromikan. Kasus hadis yang tampak bertentangan yang dibahas Yusuf Al-Qaradhawi, yaitu hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita. Hadis ini berkualitas shahih, dan mengandung pengertian tentang ketidaksukaan  nabi yang bisa diartikan sebagai larangan kepada perempuan yang terlalu sering berziarah kubur. Hadis teresebut bertentangan dengan hadis yang memperbolehkan ziarah kubur pada umumnya, karena hal itu dapat mengingatkan kepada kematian.[6]

Hadis yang melarang maupun memperbolehkan seorang wanita berziarah kubur, berkualitas shahih, dan secara dhahir saling bertentangan. Namun menurut Al-Qaradhawi-menukil pendapat Al-Qurtubi- bahwa hadis yang melarang diatas dapat dikompromikan yakni, hadis yang melarang perempuan berziarah kubur dikarenakan zawwarat (wanita tersebut terlalu sering berziarah kubur).



          [1]Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, (Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media, 2011),  hlm. 35.
          [2]Ibid., hlm. 291.
    [3] Suryadi, Metode Kontemporer: Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta:  Teras, 2008),  hlm. 136.
          [4]Ibid., hlm 135.
        [5]Ibid., hlm. 145.  
        [6]Ibid., hlm. 156.
adsense 336x280

0 Response to "Kontekstualisasi Pemahaman Hadis Menurut Al-Qaradhawi "

Post a Comment