A.
Teori
Ekosistem: Sejarah dan Perkembangan
Dari tahun 1920an hingga 1960an,
sebagian besar pendekatan pekerjaan sosial menggunakan “model medis” untuk
menganalisis dan mengubah perilaku manusia. Pendekatan ini sangat dipengaruhi
oleh psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud. Model medis memandang
klien sebagai pasien. Masalah klien dianggap berada di dalam diri klien itu
sendiri. Tugas utama para pemberi pelayanan adalah mendiagnosa faktor-faktor
yang menyebabkan permasalahan klien dan kemudian melakukan penyembuhan.[2]
Pada tahun 1960an, pekerjaan
sosial mulai mempertanyakan kegunaan model medis. Sebagaimana faktor internal,
faktor lingkungan dipandang sama pentingnya dalam menyebabkan masalah klien.
Penelitian-penelitian berhasil menunjukkan bahwa psikoanalisisseringkali
kurang efektif dalam menyembuhkan masalah klien. Pekerjaan sosial kemudian
menggeser perhatiannya dari pendekatan yang berorientasi kepada perubahan
klien menjadi pendekatan yang berorientasi pada perubahan sistem.
Program antikemiskinan, yakni “head
Start”, dianggap sebagai salah satu pendekatan yang berupaya mengubah
sistem dan memberi manfaat pada klien. Pada dekade ini, pekerjaan sosial mulai
menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis perilaku manusia. Sejak tahun
1970an, sebagian pekerja sosial sudah menggunakan pendekatan ekologis yang
mengintegrasikan konsep penyembuhan individual (mikro) dan reformasi sosial
(makro).
Pendekatan ini menekankan pada
transaksi disfungsional antara orang dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang berkembang dan beradaptasi melalui transaksi
dengan semua elemen lingkungannya. Model ekologis memperhatikan baik
faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi maslah klien.
Penekanan penting model ini adalah pada konsep “the person-in-environtment”.[3] Menurut
para pendukungnya, teori ekosistem mampu memberikan kerangka yang unik dan
komprehensif begi intervensi sosial.[4] Di Amerika Serikat, teori sistem ekologis menjadi
sebuah model praktik yang menonjol karena teori ini menyatukan unsur-unsur
praktik psikodinamika tradisional.
Teori ekosistem pada intinya
merupakan kombinasi dari teori sistem umum dan perspektif ekologi.[5]
Dari teori sistem, perspektif ekosistem meminjam berbagai konsepsi berkaitan
dengan sistem: sistem saling terkait secara hierarkis; sistem dapat terbuka
atau tertutup dalam berinteraksi dengan dunia luar; sistem dapat berada dalam
keadaan homeostatis dan seimbang atau tidak seimbang; perubahan dalam satu
sistem dapat mempengaruhi sistem lainnya. Dari teori ekologi, teori ekosistem
meminjam konsepsi bahwa terdapat adaptasi mutual antara individu dengan
lingkungan fisik dan sosialnya.
Konseptualisasi Person-in-Environtment:
a.
Teori Sistem
Perspektif system dipengaruhi oleh teori
system. Teori system memiliki pandangan bahwa suatu system pada dasarnya
adalah bagian dari system lain yang lebih besar. Jadi suatu system adalah
subsistem dari system lainnya. Suatu system tidak dapat di pahami dengan baik
tanpa memerhatikan system lainnya. Misalnya, kasus kekerasan yang terjadi pada
anak di dalam keluarga, tidak secara sederhana akibat kesalahan perilaku yang
di lakukan oleh orang tua.[6]
Faktor eksternal tentang desakan
kebutuhan ekonomi bisa jadi factor yang memicu orang tua menjadi tertekan
sehingga melampiaskan ketertekanannya dengan melakukan kekerasan kepada
anaknya. Jadi, dalam pandangan system kondisi eksternal juga dapat menjadi faktor
dominan dalam masalah sosial selain
kondisi internal sendiri.
Teori system menyumbang tentang adanya
pandangan bahwa kehidupan manusia pada dasarnya memiliki perilaku dan
lingkungan sosial yang kompleks. Selain itu, teori ini menekankan bagaimana suatu
system berinteraksi satu sama lain, begitu juga sebaliknya. Menurut relasi
ini, dalam teori system dikenal sebagai
trans actions. Suatu system selalu berinteraksi dan saling bertukar tentang
sumber tertentu, misalnya antara pekerja dengan majikan, keluarga dengan
tetangga, dan pemerintah dengan rakyat.
Dalam realita sosial, masalah muncul karena terjadi ketidakseimbangan
antara kebutuhan manusia dengan system-sistemnya. Seringkali di dapati suatu
system tidak relevan lagi dengan kebutuhan manusia. Dengan kata lain, kualitas
system tidak sebanding dengan kebutuhan dari manusia. Dalam konteks inilah
pekerja sosial tidak cukup memberikan terapi kepada individu, keluarga,
komunitas, atau masyarakat dengan dengan menganjurkan untuk beradaptasi dengan
system/lingkungan.
Tetapi dalam waktu yang bersamaan system
juga harus di ciptakan sedemikian rupa agar cocok dan sesuai dengan kebutuhan
manusia. Perspektif ekosistem pada dasarnya menegaskan tentang upaya ini. Dengan kata lain, di satu sisi memang di akui adanya
perbedaan dan interaksi antara satu system dengan system lainnya. Namun di
sisi yang lain system yang berbeda tersebut sudah sepatutnya saling dilakukan
harmonisasi agar tercipta keseimbangan dalam hidup. Kedua prinsip yang berbeda
ini akhirnya disatukan karena kedua prinsip saling membutuhkan satu sama lain.
b.
Teori Ekologi
Teori ekologi cenderung berupaya untuk
melakukan harmonisasi antara system yang berbeda. Ekologi berasal dari istilah
biologi yang merujuk pada pentingnya interaksi antara organisme
kehidupandengan lingkungan fisik dan biologis. Pandangan ini memberikan
pengaruh dalam ilmu pekerjaan sosial bahwa seseorang akan memiliki
keseimbangan hidup apabila dia mampu beradaptasi dengan baik terhadap
lingkungan.teori ini menyumbang satu prinsip yang sangat penting dalam tradisi
ilmu pekerjaan sosial yakni tentang person-in-environment (seseorang dalam
lingkungan). Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia berada dalam suatu
lingkungan yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap dirinya.[7]
B.
Kelemahan Perspektif Ekosistem
Perspektif
ekosistem belum mampu memperjelas keunikan pekerjaan sosial. Wakefield
menunjukkan bahwa perspektif ekosistem belum dapat dikatakan sebagai sebuah
teori atau model yang dapat memberikan basis bagi intervensi pekerjaan sosial
yang telah teruji secara empiris. Ia masih berupa sebuah pandangan, yakni cara
melihat cara melihat masalah atau seperangkat intervensi.
Para
tokoh utama perspektif ekosistem, seperti Meyer (1976) dan Carel Germain serta
Alex Gitterman (1987), mengakui bahwa perspektif ekosistem baru merupakan
“metafora” yang bermanfaat, namun belum menjadi sebuah model atau teori yang
mantap. Akibatnya, kontribusi pekerjaan sosial terhadap penanganan masalah
psikososial dan peningkatan kesejahteraan sosial belum memiliki karakter yang
khas dan dapat dibedakan dari pendekatan yang dilakukakan ilmu atau profesi
lain.[8]
Lalu
bagaimanakah intervensi pekerja sosial yang efektif?, para pendukung
perspektif ekosistem akan menjawab bahwa intervensi yang efektif harus
komprehensif dan mencakup semua aspek yang berkaitan dengan “orang dalam
lingkungannya”. Jawaban ini dilandasi argumen bahwa “... all-encompassing
perspective is needed to account for the real-life person and environtment
complexity in social work situation” (Meyer).
Menurut
pendukung perspektif ekosistem, praktisi yang tidak menerapkan prinsip
holistik dalam intervensinya tidak sejalan dengan tujuan dan karakter utama
pekerjaan sosial. Argumen tersebut cukup rasional jika didukung oleh bukti
empiris yang valid dan reliable. Akan tetapi, para pendukungekosistem belum
bisa memenuhi tuntutan ini. Penolakan yang sering dilontarkan terhadap
perspektif ekosistem adalah bahwa klaim-klaim tentang keunggulan “hipotesis
komprehensif” dari perspektif ekosistem kurang didukung bukti empiris.
Perspektif
ekosistem dapat memperluas cara pandang seseorang terhadap situasi dan kasus,
namun tidak dapat memberitahu bagaimana mendefinisikan masalah dan apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.[9]
C.
Implikasi
bagi Pendidikan Pekerjaan Sosial
Para
pendukung perspektif ekosistem sering mengajukan klaim tambahan bahwa
perspektif ini dapat (a) membantu para pekerja sosial mengidentifikasi
hubungan kausal atau transaksi antara orang dan lingkungannya, (b) membantu
memformulasikan asesmen yang komprehensif, (c) mengintegrasikan teori‐teori
pekerjaan sosial, dan (d) mengkoreksi bias‐bias
praktik yang terfokus pada intervensi individu secara tunggal.
Kajian
yang lebih cermat yang dilakukan Wakefield (1996) menemukan bahwa selain
keempat argumen tersebut invalid, ternyata kegunaan perspektif tersebut bagi
pekerjaan sosial hanyalah sebuah ilusi. Dalam konteks pekerjaan sosial klinis
Wakefield (1996) menyimpulkan:
I conlude from the analysis above
that these arguments are without merit. The perspective adds nothing essential
to the array of domain‐specific theories and
methods available to practitioners. The perception that social work needs the
perspective to ensure clinical usefulness is an illusion fostered by a series
of intellectual errors in which the clinically useful powers of domain‐specific
theories are misattributed to the perspective.
Harus
diakui, perspektif ekosistem telah memainkan peranan penting dalam perkembangan
pekerjaan sosial, namun kontribusinya belum kongkrit. Perspektif yang
menganjurkan penggunaan berbagai strategi dan metoda secara komprehensif dan
simultan memang lebih baik dari pada percaya pada dogma atau mitos.
Namun,
tanpa upaya‐upaya kritis untuk terus memperbaiki dan
melengkapi sebuah perspektif dengan bukti‐bukti
empiris, sebuah perspektif 8 justru dapat merusak kemajuan pekerjaan sosial
dalam jangka panjang. Menerima teori tanpa sikap kritis menimbulkan apa yang
oleh pakar logika disebut sebagai “intellectual cul de sac”, kekeliruan dan
kemandegan dalam berpikir. Max
Siporin (1980) dalam artikelnya “Ecological Systems Theory in Social Work” yang
dimuat dalam Journal of Sociology and Social Welfare, dengan elegan menyatakan
bahwa satu implikasi dari teori sistem adalah anjurannya untuk melihat segala
sesuatu secara besar (to see things big): untuk berpikir, merencanakan dan
melakukan aksi secara holistik dan sistematis.
Para
pemuja perspektif ini, sadar atau tidak sadar, sering menjustifikasi bahwa
praktik pekerjaan sosial harus berwajah generalis dan para praktisi pekerjaan
sosial semuanya harus menguasai dan menjadi ahli dalam melakukan psikoterapi,
terapi keluarga, pengorganisasian masyarakat, perencanaan sosial, maupun
menerapkan analisis kebijakan sosial sekaligus. Akibatnya, lembaga‐lembaga
pelayanan sosial kekurangan pekerja sosial yang memiliki keahlian khusus yang
mampu memecahkan masalah psikososial khusus. Berdasarkan perspektif ekosistem,
para pekerja sosial dituntut menguasai banyak metoda (meskipun serba sedikit)
dalam menganalisis dan memecahkan setiap permasalahan psikososial. Maka, semua
mahasiswa yang belajar di sekolah‐sekolah
pekerjaan sosial, pada tingkat sarjana maupun pascasarjana (termasuk
spesialis), harus dididik menjadi pekerja sosial generalis.
Jika
para pendukung perspektif ekosistem ditanya apakah pendidikan pekerjaan sosial
pada tingkat lanjutan memerlukan spesialisasi. Mereka akan menjawab ya. Namun,
spesialisasinya didasarkan kepada kelompok sasaran (target group), bukan
penguasaan metodanya. Alasanya, penanganan masalah anak, masalah lanjut usia,
masalah wanita, masalah ODHA, masalah kemiskinan, bencana alam, pengangguran,
dst. semuanya harus didekati oleh berbagai metoda (casework, groupwork, COCD,
adminsitrasi kesejahteraan sosial, analisis kebijakan sosial) secara simultan.
Dengan
demikian, pembeda antara pekerja sosial lulusan pendidikan sarjana dan
pascasarjana terletak pada penguasaan kelompok sasarannya. Jika alumni program
sarjana dituntut menguasai semua metoda untuk menangani permasalahan semua
kelompok sasaran. Maka, alumni program pascasarjana harus menguasai berbagai
metoda untuk menangani masalah satu kelompok sasaran tertentu saja.
Pandangan
ini jelas mencerminkan pengaruh dan dominasi perspektif ekosistem dalam argumen
mereka. Mereka terpesona oleh jargon‐jargon
holistik, komprehensif, integrasi yang diklaim oleh para pemuja perspektif
ini. Analisis di atas telah menunjukkan bahwa perspektif ekosistem
ternyata bukan sebuah model dan teori yang paripurna yang dapat dijadikan pisau
analisis dan alat pemecahan masalah setiap problema psikososial.[10]
Kerenanya,
pendapat yang menyatakan bahwa semua pekerja sosial harus generalis juga kurang
ditunjang oleh argumen yang kuat. Mengambil analogi di bidang kedokteran,
pendukung perspektif ekosistem mempercayai bahwa semua dokter itu harus menjadi
dokter umum. Jika dokter umum lulusan program sarjana harus bisa mengobati
semua penyakit anak, orang tua, ODHA, penyandang cacat.
Maka
dokter lulusan pascasarjana atau spesialis dianjurkan menjadi “dokter umum”
yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk melakukan pembiusan, bedah
mulut, bedah tulang, menyembuhkan penyakit jantung, kulit dan kelamin, dst.
Bedanya mereka ahli melakukan itu semua terhadap pasien 9 tertentu, seperti
anak‐anak, remaja, orang tua, penderita
HIV/AIDS, dan kelompok‐kelompok sasaran khusus
lainnya.
0 Response to "Pembahasan Teori Ekosistem"
Post a Comment