By: Nadya
Nur Aisyah
Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi
kehidupan dimana terdapat sejumlah penduduk
tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok
(basic needs) minimum dan mereka hidup di bawah tingkat kebutuhan
minimum tersebut (Todaro dan Smith, 2007). Konsep yang dipakai BPS dalam
mengukur kemiskinan juga berdasarkan kebutuhan dasar (basic needs approach). Nilai kebutuhan dasar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK), yaitu batas
minimum pengeluaran per kapita per bulan
untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan, yang memisahkan seseorang tergolong
miskin atau tidak.
Garis
kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Maret 2016 adalah Rp 354.084,- per kapita per bulan. Jika
dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang garis kemiskinannya sebesar Rp 335.886,- per kapita per bulan, terjadi
kenaikan sebesar 5,42 persen dan jika dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang besarnya
Rp 347.721,- per kapita per bulan, maka tampak
adanya kenaikan garis kemiskinan sebesar 1,83
persen. Terjadinya peningkatan garis kemiskinan ini sejalan
dengan terjadinya inflasi
Maret 2015 ke Maret 2016 yang sebesar
3,69 persen, serta inflasi September 2015 - Maret 2016 sebesar
1,56 persen.
Kemiskinan bukanlah hal yang asing di Indonesia.
Bahkan di pinggiran-pinggiran jalan kota besar, sangat mudah kita temui
orang-orang yang nasibnya kurang beruntung dan tidak bisa hidup dengan layak.
BPS mencatat, pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia
mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang
dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51
juta orang (11,13 persen).
Dimensi-dimensi kemiskinan
termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat,
perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Tiga faktor utama penyebab kemiskinan di Indonesia
di antaranya adalah kurang memiliki keterampilan dan budaya kerja produktif,
sikap pasrah pada nasib, dan terbatasnya lapangan kerja. Keterampilan dan
budaya kerja produktif sangatlah penting bagi dunia kerja apalagi pada zaman
postmodern ini. Karena perusahaan-perusahaan membutuhkan orang yang terampil
dalam bidang tertentu untuk memajukan perusahaan tersebut.
Diadakannya
seleksi dalam penerimaan pekerja pun merupakan contoh pentingnya memiliki
keterampilan. Para pelamar kerja yang tidak diterima walaupun sudah punya
keterampilan pun masih susah mencari pekerjaan dan harus mengembangkannya lagi.
Apalagi bagi orang yang tidak punya keterampilan sama sekali, mereka paling
tidak harus mengikuti pelatihan atau semacamnya untuk mendapatkan sebuah
pekerjaan.
Sikap
pasrah pada nasib juga sangat mempengaruhi kemiskinan. Mereka yang pasrah
beralasan kalau takdir yang membuatnya seperti sekarang ini. Contohnya
orang-orang yang sudah biasa tinggal di lingkungan kumuh akan merasa nyaman
saja karena sudah terbiasa, namun jika orang-orang yang terbiasa hidup di
lingkungan bersih atau elit akan merubah atau pindah dari tempat itu. Ini
berarti sifat yang tertanam dari lahir sangat berpengaruh kepada sikap yang
akan diambilnya.
Karena
biasanya mereka yang hidup di lingkungan kumuh dan bergaul dengan orang-orang
yang tinggal disana motivasinya hanyalah sebatas mencari makan saja. Namun jika
motivasi dari diri sendirinya sudah kuat untuk merubah hidupnya, maka mereka
akan memiliki kemauan untuk mencari jalan untuk menyejahterakan hidupnya
walaupun dari nol.
Terbatasnya
lapangan kerja juga merupakan faktor penyebab kemiskinan di Indonesia. Lapangan
kerja saat ini masih belum bisa menampung pengangguran di Indonesia. Sebagai
contoh, sulitnya kondisi saat ini membuat banyak TKI yang nekad merantau ke
negara lain dengan cara apapun. Kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan
menyebabkan mereka memilih menjadi TKI illegal.
Tidak mudah untuk mengatasi kemiskinan di Kota Yogyakarta.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah berencana untuk menanggulangi kemiskinan yang terus
bertambah setiap tahunnya. Tetapi aksi pemerintah tersebut membutuhkan dana
APBD yang cukup banyak. Berhasilnya penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta diperlukan komitmen
yang kuat konsisten dan konsekuen dari semua pihak baik dari unsur Pemerintah,
Swasta dan Masyarakat
Jadi
solusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia bahkan pengentasannya
dibutuhkan upaya dua pihak, yaitu pemerintah dan rakyat. Pemerintah membuat
kebijakan-kebijakan dan memberikan bantuan kepada rakyat, dan rakyat pun harus
bekerja sama dengan pemerintah. Karena kemiskinan dipengaruhi oleh kurangnya
keterampilan masyarakat, kurangnya motivasi kerja, dan terbatasnya lapangan
kerja di Indonesia, kita harus memfokuskan pada tiga hal tersebut untuk
memberantas kemiskinan di Indonesia.
0 Response to "Kemiskinan Di Yogyakarta Dan Solusinya"
Post a Comment