Pendekatan Sosiologi
Untuk menghasilkan suatu teori
tentulah melalui pendekatan-pendekatan, demikian halnya dengan teori-teori sosiologi.
Ada tiga pendekatan utama
sosiologi, yaitu :
- Pendekatan struktural–fungsional.
- Pendekatan konflik (marxien).
- Pendekatan interaksionisme–simbolis.[1]
Pendekatan struktural–fungsional
terkenal pada akhir 1930-an, dan mengandung pandangan makroskopis terhadap
masyarakat. Walaupun pendekatan ini bersumber pada sosiolog-sosiolog Eropa
seperti Max Webber, Emile Durkheim, Vill Predo Hareto, dan beberapa antropolog
sosial Inggris, namun yang pertama mengemukakan rumusan sistematis mengenai
teori ini adalah Halcot Parsons, dari Harvard. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh para mahasiswa Parson, dan para murid mahasiswa tersebut, terutama di
Amerika. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar yaitu :
Masyarakat terbentuk atas
substruktur-substruktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing, saling
bergantung, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu
sub-struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang
terjadi dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis
adalah menyelidiki mengapa yang satu mempengaruhi yang lain, dan sampai sejauh
mana. Setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau
substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh
sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik,
agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata mapan lainnya.
Adapun pendekatan pendekatan
konflik atau marxien merupakan pendekatan alternatif paling menonjol saat ini
terhadap pendekatan struktural-struktural sosial makro. Karl Marx (1818-1883)
adalah tokoh yang sangat terkenal sebagai pencetus gerakan sosialis
internasional. Meskipun sebagian besar tulisannya ia tujukan untuk
mengembangkan sayap gerakan ini, tetapi banyak asumsinya yang dalam pengertian
modern diakui sebagai bersifat sosiologis.[2] Marx mengajukan teori sosialismenya yakni suatu solusi final agar seluruh
sumber daya dapat dimiliki oleh semua
orang. Dan revolusi-revolusi lanjutan tidak lagi diperlukan karena idealnya
tidak ada lagi kelaparan, pengeksploitasian dan konflik.
Sedangkan pendekatan intraksionalisme-simbolis merupakan
sebuah perspektif mikro dalam sosiologi, yang barang kali sangat spekulatif
pada tahapan analisisnya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit
sekali prasangka idiologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan barat
tempat dibinanya pendekatan ini.[3]
Pendekatan intraksionisme
simbolis lebih sering disebut pendekatan intraksionis saja, bertolak dari
interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini ia
diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna menangkap keseluruhan masyarakat
sebagai penentu proses dari banyak interaksi. Manusia dipandang mempelajari
situasi-situasi transaksi-transaksi politis dan ekonomis, situasi-situasi di
dalam dan di luar keluarga, situasi-situasi permainan dan pendidikan,
situasi-situasi organisasi formal dan informal dan seterusnya.
Agama sebagai Fenomena
Sosiologi
Penjelasan yang bagaimanapun
tentang agama, tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek
sosiologinya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya
benar-benar merupakan masalah sosial, dan sampai saat ini senantiasa ditemukan
dalam setiap masyarakat manusia di mana telah dimiliki berbagai catatan tentang
itu, termasuk yang bisa diketengahkan dan ditafsirkan oleh para ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah
mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang
melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan
masalah pemerintahan dan hukum, yang lazim menyangkut alokasi serta
pengendalian kekuasaan. Berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan
kerja, produksi dan pertukaran. Dan juga berbeda dengan lembaga keluarga yang
di antaranya berkaitan dengan pertalian keturunan serta kekerabatan.
Perbandingan aktivitas
keagamaan dengan aktivitas lain atau perbandingan lembaga keagamaan dengan
lembaga sosial lain, sepintas menunjukkan bahwa agama dalam kaitannya dengan
masalah yang tidak dapat diraba tersebut merupakan sesuatu yang tidak penting,
sesuatu yang sepele dibandingkan bagi masalah pokok manusia. Namun kenyataan
menunjukkan lain. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang
mengandung arti penting menyangkut masalah kehidupan manusia, yang dalam transedensinya
mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan
sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi
manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Disamping itu agama telah
dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling kental; sebagai
sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin
individu, sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab.
Tetapi agama juga dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi
fanatisme dan sifat tidak toleran. Pengacauan, pengabaian, tahayul dan
kesia-siaan.
Catatan sejarah yang ada
menunjukkan agama sebagai salah satu penghambat tatanan sosial yang telah
mapan. Tetapi agama juga memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan
yang sangat revolusioner. Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama di
Prancis berpendapat bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat
tinggi. Sedangkan Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Jelas
agama menunjukkan seperangkat aktivitas sosial yang mempunyai arti penting.
0 Response to "Apa Itu Sosiologi?? (Part 2)"
Post a Comment